MENGAPA MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA BEGITU PENTING?
Sebagai sebuah
ciptaan, Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Indonesia adalah
negeri lautan dengan taburan pulau-pulau diatasnya. Perpaduan lautan dan
daratan dengan berbagai ragam potensi yang ada didalamnya menjadikan Indonesia
sebagai negara Kepulauan (archipelago) terbesar di dunia. Secara fisik
Kepulauan Indonesia memiliki 1.904.569 km² luas wilayah, 18.108 jumlah pulau, 81.000
km² garis pantai, dan 2,7 juta luas perairan atau 70% dari luas wilayah
Indonesia yang membentang dari 6⁰ 08’ LU - 11⁰ 15’ LS dan 94⁰ 45’ BT – 141⁰ 05’
BT. Sedangkan secara kebudayaan, Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri
dari 1.331 suku bangsa, 652 bahasa daerah, 6 agama, dan 187 kelompok penghayat
kepercayaan.
Indonesia diapit
oleh Benua Asia dan Australia serta Samudera Hindia dan Pasifik, sehingga
secara geografis Indonesia menempati lokasi strategis dalam jalur lalu lintas
masyarakat dunia. Sudah sejak lama Indonesia menjadi tempat persinggahan
masyarakat dunia, mereka datang dari berbagai bangsa dengan turut membawa ragam
budaya dari tanah asalnya, lalu ragam budaya asing tersebut bertemu dan
berinteraksi dengan ragam budaya asli Indonesia, sehingga melahirkan berbagai
bentuk budaya baru yang bercampur dalam balutan kearifan lokal, kemudian
membentuk “model Indonesia” dengan “karakteristik Indonesia” dan “citarasa
Indonesia”. Selain itu posisi Indonesia sebagai pusat persemaian dan
penyerbukan silang budaya ikut melahirkan kultur masyarakat yang inklusif,
plural, serta mampu mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak
dibandingkan dengan kawasan dunia manapun.
Perlu disadari
bahwa pembentukan keindonesiaan dihasilkan melalui perjalanan panjang yang
penuh dengan dinamika melintasi ruang dan waktu. Dalam pembentukan
keindonesiaan nilai-nilai fundamental yang berakar dari jatidiri bangsa harus
tetap dipertahankan dan diwariskan bagi generasi selanjutnya, sebagai contoh
Bhineka Tunggal Ika yang dituliskan oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 dalam
Kitab Sutasoma dimasa Kerajaan Majapahit, mampu menjadi pengikat antara
penganut Buddha dan Hindu untuk hidup berdampingan dengan damai dan harmonis,
sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran keduanya adalah tunggal.
Pada masa kini di lingkungan masyarakat Suku Tengger, Desa Ngadas, Kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten Malang, praktik saling menghormati ditunjukan dengan
istilah “Sayan” dan “Genten Cecelukan”, kesediaan memenuhi undangan dari orang
lain dan membagi makanan kepada para tetangga. Umat Buddha di Tengger mencapai
lebih dari 50%, namun bisa hidup berdampingan dengan umat lain tanpa membedakan
agama, dalam pembangunan rumah ibadah dilakukan secara gotong royong, semua
warga berpartisipasi tanpa kecuali.
Juga tidak menutup
kemungkinan perspektif keindonesiaan kita juga mengalami suatu perubahan
berdasarkan hasil-hasil kajian terbaru, misalkan sejarah mengenai nenek moyang
bangsa Indonesia, apakah kita semua adalah orang asli Indonesia? Secara
primordial kita tentu bisa mengatakan bahwa kita adalah orang asli Indonesia
dengan mengacu pandangan Mr. Mohammad Yamin yang melihatnya dari temuan fosil
dan artefak paling banyak ditemukan di Indonesia. Namun jika kita mengikuti
perkembangan terbaru hasil penelitian Herawati Sudoyo dari Lembaga Biologi
Molekular (Eijkman) yang meneliti asal-usul orang Indonesia didapat temuan
bahwa asal-usul manusia bumi berasal
dari Afrika kemudian menyebar ke suluruh dunia, termasuk Indonesia melalui daratan
China hingga menuju Australia. Sehingga bisa dikatakan agak sulit mengklaim
bahwa kita atau sebuah kelompok tertentu adalah manusia asli Indonesia, sebab
tidak ada manusia Indonesia pemilik gen murni, melainkan campuran dari berbagai
genetika yang awalnya berasal dari Afrika. Pendekatan yang digunakan oleh
Herawati adalah penelitian genetika (DNA) dengan melihat pola penduduk 13 pulau
besar di Indonesia meliputi waktu kedatangan, pola migrasi, hingga relasi kawin
mawin melalui analisa data genetika (DNA) serta membandingkannya dengan data non-genetik
seperti linguistik, etnografi, arkeologi, dan sejarah.
Pemahaman dan
kesadaran mengenai keindonesiaan wajib diketahui oleh segenap bangsa Indonesia,
pertanyaan dari mana kita berasal, bagaimana keadaan kita sekarang, dan kedepan
mau menuju kemana, adalah berbagai pertanyaan menyangkut eksistensi kita
sebagai bangsa atau bahkan manusia pada umumnya. Mempelajari kehidupan manusia
atau melihat pembentukan serta perjalanan bangsa Indonesia dalam lintasan ruang
dan waktu hanya bisa dipelajari melalui mata pelajaran Sejarah Indonesia. Mata
pelajaran Sejarah Indonesia berisikan berbagai peristiwa penting yang terjadi di
Indonesia dari awal mula keberadaan manusia di Indonesia, masa Kerajaan
Hindu-Buddha, masa Kerajaan Islam, masa penjajahan Bangsa Eropa, masa
Pergerakan Kebangsaan Indonesia, masa Pendudukan Jepang, masa Proklamasi
Kemerdekaan, masa usaha mempertahankan kemerdekaan, masa pemerintahan demokrasi
liberal dan terpimpin, masa pemerintahan orde baru, sampai masa pemerintahan
reformasi.
Sejarah Indonesia
juga berisikan cerita mengenai pengalaman individu maupun kolektif manusia
pada masa lalu yang dianggap membawa
makna dan perubahan bagi kehidupan sosial yang berkontribusi bagi pembentukan
keindonesiaan. Pengalaman atas masa lalu dapat membentuk kepribadian seseorang
dan sekaligus menentukan identitasnya, dalam konteks kebangsaan adanya
pengalaman kolektif yang dialami sekelompok manusia pada masa lalu akan turut
serta melahirkan kepribadian dan identitas nasional. Bangsa yang tidak mengenal
sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah kehilangan memorinya,
ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan kepribadian atau
identitasnya. Sukarno selalu mengatakan Jas Merah (Jangan Sekali-Kali Melupakan
Sejarah) dalam setiap pidatonya, begitupun Cicero yang selalu mengungkapkan
Historia Vitae Magistra, bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Karena itu
hal paling esensial dari mempelajari Sejarah Indonesia adalah agar kita dapat
mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri dan pemahaman sebagai sebuah
bangsa.
Sebagai sebuah
ilmu, kajian sejarah identik dengan konsep manusia, ruang, dan waktu. Manusia
merupakan mahluk yang memiliki akal dan pikiran, dari akal dan pikirannya itu
manusia kemudian menciptakan sekaligus sebagai pelaku sejarah. Kemudian ruang
adalah tempat sebuah peristiwa sejarah terjadi, meliputi dimensi lokal,
nasional, dan global, dari sini kita bisa menganalisa keterkaitan atau mencari
hubungan antar peristiwa yang terjadi diberbagai tempat baik dalam kurun waktu
yang sama maupun berbeda. Sedangkan waktu adalah aspek temporal yang berbicara
mengenai kapan sebuah peristiwa sejarah terjadi meliputi masa lalu, masa kini,
dan masa yang akan datang, dimana dalam setiap masa kita bisa menganalisa
perkembangan, kesinambungan, keberulangan, serta perubahan yang terjadi. Keberadaan
manusia, ruang, dan waktu adalah ciri khas dari sejarah.
Tantangannya
adalah, sebagai bagian dari kehidupan masa lalu, sejarah adalah sesuatu yang
sudah lewat, bahkan tidak pernah dialami secara empiris oleh peserta didik,
sehingga membuat sejarah menjadi “asing” atau bahkan “abstrak” dalam pikiran
peserta didik kita. Disinilah peran guru sejarah menjadi penting untuk membangun
jembatan antara masa lalu dengan masa kini dengan merangsang daya nalar peserta
didik (imajinatif, kreatif, kritis, dan reflektif). Dari sini kita semakin
menjadi yakin bahwa belajar sejarah sesungguhnya adalah belajar berpikir.
Belajar sejarah jangan sampai hanya sebatas lambang pemujaan masa lalu, dimana
generasi muda hanya bisa terpesona atau menjadi penikmat dari masa lalu yang
gemilang, tanpa pernah berpikir untuk merencanakan bangunan masa depan mereka
sendiri. Secara progresif pembelajaran sejarah harus mampu
mengkontekstualisasikan berbagai peristiwa yang terjadi dimasa lalu dengan
berbagai peristiwa yang dialami sekarang, untuk kita bisa saling merenungi,
mengevaluasi, membandingkan, atau mengambil keputusan, sekaligus sebagai
orientasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik.
Guru sejarah
dalam mengajarkan sejarah harus utuh dan komprehensif. Laksana orang menenun,
sejarah harus disampaikan memanjang jalur atas-bawah dan melebar jalur
kiri-kanan, artinya berbagai metode baik secara diakronik (kronologis) maupun
sinkronik perlu digunakan untuk menjelaskan sebuah peristiwa sejarah secara
utuh. Begitu juga dengan muatan-muatan lain dalam sejarah perlu diajarkan
secara komprehensif dalam bentuk muatan yang terintegrasi dalam pembelajaran sejarah,
misal jika selama ini mempelajari sejarah lebih ditekankan kepada muatan politik
atau militer (perang), maka sekarang ini kita bisa juga mengangkat muatan lokal,
muatan sosial, muatan Hak Asasi Manusia (HAM), muatan maritime, muatan agraris,
muatan teknologi, muatan lingkungan, muatan mitigasi, muatan kesehatan, muatan fashion,
muatan kuliner, dan lain sebagainya dalam lintasan Sejarah Indonesia.
Penjelasan sejarah yang utuh dari berbagai metode dan penjelasan yang
komprehensif dengan memasukan berbagai muatan sejarah, niscaya akan membuat
pembelajaran sejarah menjadi semakin kaya, berbobot, dan bermakna bagi
kehidupan anak bangsa.
Begitupun dewasa ini ditengah krisis
multidimensi yang melanda bangsa Indonesia, sesungguhnya sejarah sudah mengajarkan
kepada kita mengenai makna kemajemukan, bahwasanya bangsa ini dibangun dari
keragaman yang oleh sejarah keragaman itu diikat melalui falsafah Bhineka
Tunggal Ika, dipersatukan melalui momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.
*Tulisan ini dibuat oleh penulis dalam rentang waktu Februari-April 2020 untuk memenuhi kebutuhan Naskah Capaian Pembelajaran Sejarah Indonesia, Kebijakan Penyederhanaan Kurikulum oleh Puskurbuk dan PSPK. Beberapa hal yang terdapat dalam tulisan ini bisa saja berkembang atau berubah sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akademis maupun empiris.