Sabtu, 11 April 2020

MENGAPA MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA BEGITU PENTING?

MENGAPA MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA BEGITU PENTING?

Sebagai sebuah ciptaan, Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. Indonesia adalah negeri lautan dengan taburan pulau-pulau diatasnya. Perpaduan lautan dan daratan dengan berbagai ragam potensi yang ada didalamnya menjadikan Indonesia sebagai negara Kepulauan (archipelago) terbesar di dunia. Secara fisik Kepulauan Indonesia memiliki 1.904.569 km² luas wilayah, 18.108 jumlah pulau, 81.000 km² garis pantai, dan 2,7 juta luas perairan atau 70% dari luas wilayah Indonesia yang membentang dari 6⁰ 08’ LU - 11⁰ 15’ LS dan 94⁰ 45’ BT – 141⁰ 05’ BT. Sedangkan secara kebudayaan, Indonesia adalah negara majemuk yang terdiri dari 1.331 suku bangsa, 652 bahasa daerah, 6 agama, dan 187 kelompok penghayat kepercayaan.

Indonesia diapit oleh Benua Asia dan Australia serta Samudera Hindia dan Pasifik, sehingga secara geografis Indonesia menempati lokasi strategis dalam jalur lalu lintas masyarakat dunia. Sudah sejak lama Indonesia menjadi tempat persinggahan masyarakat dunia, mereka datang dari berbagai bangsa dengan turut membawa ragam budaya dari tanah asalnya, lalu ragam budaya asing tersebut bertemu dan berinteraksi dengan ragam budaya asli Indonesia, sehingga melahirkan berbagai bentuk budaya baru yang bercampur dalam balutan kearifan lokal, kemudian membentuk “model Indonesia” dengan “karakteristik Indonesia” dan “citarasa Indonesia”. Selain itu posisi Indonesia sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya ikut melahirkan kultur masyarakat yang inklusif, plural, serta mampu mengembangkan berbagai corak kebudayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan kawasan dunia manapun.

Perlu disadari bahwa pembentukan keindonesiaan dihasilkan melalui perjalanan panjang yang penuh dengan dinamika melintasi ruang dan waktu. Dalam pembentukan keindonesiaan nilai-nilai fundamental yang berakar dari jatidiri bangsa harus tetap dipertahankan dan diwariskan bagi generasi selanjutnya, sebagai contoh Bhineka Tunggal Ika yang dituliskan oleh Mpu Tantular pada abad ke-14 dalam Kitab Sutasoma dimasa Kerajaan Majapahit, mampu menjadi pengikat antara penganut Buddha dan Hindu untuk hidup berdampingan dengan damai dan harmonis, sebab hakikat kebenaran yang terkandung dalam ajaran keduanya adalah tunggal. Pada masa kini di lingkungan masyarakat Suku Tengger, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, praktik saling menghormati ditunjukan dengan istilah “Sayan” dan “Genten Cecelukan”, kesediaan memenuhi undangan dari orang lain dan membagi makanan kepada para tetangga. Umat Buddha di Tengger mencapai lebih dari 50%, namun bisa hidup berdampingan dengan umat lain tanpa membedakan agama, dalam pembangunan rumah ibadah dilakukan secara gotong royong, semua warga berpartisipasi tanpa kecuali.

Juga tidak menutup kemungkinan perspektif keindonesiaan kita juga mengalami suatu perubahan berdasarkan hasil-hasil kajian terbaru, misalkan sejarah mengenai nenek moyang bangsa Indonesia, apakah kita semua adalah orang asli Indonesia? Secara primordial kita tentu bisa mengatakan bahwa kita adalah orang asli Indonesia dengan mengacu pandangan Mr. Mohammad Yamin yang melihatnya dari temuan fosil dan artefak paling banyak ditemukan di Indonesia. Namun jika kita mengikuti perkembangan terbaru hasil penelitian Herawati Sudoyo dari Lembaga Biologi Molekular (Eijkman) yang meneliti asal-usul orang Indonesia didapat temuan bahwa asal-usul manusia bumi  berasal dari Afrika kemudian menyebar ke suluruh dunia, termasuk Indonesia melalui daratan China hingga menuju Australia. Sehingga bisa dikatakan agak sulit mengklaim bahwa kita atau sebuah kelompok tertentu adalah manusia asli Indonesia, sebab tidak ada manusia Indonesia pemilik gen murni, melainkan campuran dari berbagai genetika yang awalnya berasal dari Afrika. Pendekatan yang digunakan oleh Herawati adalah penelitian genetika (DNA) dengan melihat pola penduduk 13 pulau besar di Indonesia meliputi waktu kedatangan, pola migrasi, hingga relasi kawin mawin melalui analisa data genetika (DNA) serta membandingkannya dengan data non-genetik seperti linguistik, etnografi, arkeologi, dan sejarah.

Pemahaman dan kesadaran mengenai keindonesiaan wajib diketahui oleh segenap bangsa Indonesia, pertanyaan dari mana kita berasal, bagaimana keadaan kita sekarang, dan kedepan mau menuju kemana, adalah berbagai pertanyaan menyangkut eksistensi kita sebagai bangsa atau bahkan manusia pada umumnya. Mempelajari kehidupan manusia atau melihat pembentukan serta perjalanan bangsa Indonesia dalam lintasan ruang dan waktu hanya bisa dipelajari melalui mata pelajaran Sejarah Indonesia. Mata pelajaran Sejarah Indonesia berisikan berbagai peristiwa penting yang terjadi di Indonesia dari awal mula keberadaan manusia di Indonesia, masa Kerajaan Hindu-Buddha, masa Kerajaan Islam, masa penjajahan Bangsa Eropa, masa Pergerakan Kebangsaan Indonesia, masa Pendudukan Jepang, masa Proklamasi Kemerdekaan, masa usaha mempertahankan kemerdekaan, masa pemerintahan demokrasi liberal dan terpimpin, masa pemerintahan orde baru, sampai masa pemerintahan reformasi.

Sejarah Indonesia juga berisikan cerita mengenai pengalaman individu maupun kolektif manusia pada  masa lalu yang dianggap membawa makna dan perubahan bagi kehidupan sosial yang berkontribusi bagi pembentukan keindonesiaan. Pengalaman atas masa lalu dapat membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus menentukan identitasnya, dalam konteks kebangsaan adanya pengalaman kolektif yang dialami sekelompok manusia pada masa lalu akan turut serta melahirkan kepribadian dan identitas nasional. Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka dia kehilangan kepribadian atau identitasnya. Sukarno selalu mengatakan Jas Merah (Jangan Sekali-Kali Melupakan Sejarah) dalam setiap pidatonya, begitupun Cicero yang selalu mengungkapkan Historia Vitae Magistra, bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Karena itu hal paling esensial dari mempelajari Sejarah Indonesia adalah agar kita dapat mengembangkan pemahaman tentang diri sendiri dan pemahaman sebagai sebuah bangsa.

Sebagai sebuah ilmu, kajian sejarah identik dengan konsep manusia, ruang, dan waktu. Manusia merupakan mahluk yang memiliki akal dan pikiran, dari akal dan pikirannya itu manusia kemudian menciptakan sekaligus sebagai pelaku sejarah. Kemudian ruang adalah tempat sebuah peristiwa sejarah terjadi, meliputi dimensi lokal, nasional, dan global, dari sini kita bisa menganalisa keterkaitan atau mencari hubungan antar peristiwa yang terjadi diberbagai tempat baik dalam kurun waktu yang sama maupun berbeda. Sedangkan waktu adalah aspek temporal yang berbicara mengenai kapan sebuah peristiwa sejarah terjadi meliputi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang, dimana dalam setiap masa kita bisa menganalisa perkembangan, kesinambungan, keberulangan, serta perubahan yang terjadi. Keberadaan manusia, ruang, dan waktu adalah ciri khas dari sejarah.

Tantangannya adalah, sebagai bagian dari kehidupan masa lalu, sejarah adalah sesuatu yang sudah lewat, bahkan tidak pernah dialami secara empiris oleh peserta didik, sehingga membuat sejarah menjadi “asing” atau bahkan “abstrak” dalam pikiran peserta didik kita. Disinilah peran guru sejarah menjadi penting untuk membangun jembatan antara masa lalu dengan masa kini dengan merangsang daya nalar peserta didik (imajinatif, kreatif, kritis, dan reflektif). Dari sini kita semakin menjadi yakin bahwa belajar sejarah sesungguhnya adalah belajar berpikir. Belajar sejarah jangan sampai hanya sebatas lambang pemujaan masa lalu, dimana generasi muda hanya bisa terpesona atau menjadi penikmat dari masa lalu yang gemilang, tanpa pernah berpikir untuk merencanakan bangunan masa depan mereka sendiri. Secara progresif pembelajaran sejarah harus mampu mengkontekstualisasikan berbagai peristiwa yang terjadi dimasa lalu dengan berbagai peristiwa yang dialami sekarang, untuk kita bisa saling merenungi, mengevaluasi, membandingkan, atau mengambil keputusan, sekaligus sebagai orientasi untuk kehidupan masa depan yang lebih baik.

Guru sejarah dalam mengajarkan sejarah harus utuh dan komprehensif. Laksana orang menenun, sejarah harus disampaikan memanjang jalur atas-bawah dan melebar jalur kiri-kanan, artinya berbagai metode baik secara diakronik (kronologis) maupun sinkronik perlu digunakan untuk menjelaskan sebuah peristiwa sejarah secara utuh. Begitu juga dengan muatan-muatan lain dalam sejarah perlu diajarkan secara komprehensif dalam bentuk muatan yang terintegrasi dalam pembelajaran sejarah, misal jika selama ini mempelajari sejarah lebih ditekankan kepada muatan politik atau militer (perang), maka sekarang ini kita bisa juga mengangkat muatan lokal, muatan sosial, muatan Hak Asasi Manusia (HAM), muatan maritime, muatan agraris, muatan teknologi, muatan lingkungan, muatan mitigasi, muatan kesehatan, muatan fashion, muatan kuliner, dan lain sebagainya dalam lintasan Sejarah Indonesia. Penjelasan sejarah yang utuh dari berbagai metode dan penjelasan yang komprehensif dengan memasukan berbagai muatan sejarah, niscaya akan membuat pembelajaran sejarah menjadi semakin kaya, berbobot, dan bermakna bagi kehidupan anak bangsa.

            Begitupun dewasa ini ditengah krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia, sesungguhnya sejarah sudah mengajarkan kepada kita mengenai makna kemajemukan, bahwasanya bangsa ini dibangun dari keragaman yang oleh sejarah keragaman itu diikat melalui falsafah Bhineka Tunggal Ika, dipersatukan melalui momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan didasarkan pada nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.

*Tulisan ini dibuat oleh penulis dalam rentang waktu Februari-April 2020 untuk memenuhi kebutuhan Naskah Capaian Pembelajaran Sejarah Indonesia, Kebijakan Penyederhanaan Kurikulum oleh Puskurbuk dan PSPK. Beberapa hal yang terdapat dalam tulisan ini bisa saja berkembang atau berubah sesuai dengan kebutuhan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akademis maupun empiris.